Welcome DESAINER

Sabtu, 09 April 2011

MASALAH-MASALAH PEMBANGUNAN, Koentjaraningrat, LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Jakarta, 1982.

MASALAH-MASALAH PEMBANGUNAN, Koentjaraningrat, LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Jakarta, 1982.
Usaha besar-besaran untuk mempercepat proses transisi sosial-budaya dengan rencana-rencana yang disusun dengan sengaja secara khusus adalah apa yang disebut pembangunan. (halaman 6)
Ada lima masalah pembangunan yang khas untuk ilmu antropologi yaitu :
1. Masalah penduduk,
2. Masalah struktur masyarakat desa,
3. Masalah migrasi, transmigrasi dan urbanisasi,
4. Masalah integrasi nasional,
5. Masalah pendidikan dan moderenisasi. (halaman 6)
Aspek ekonomi daripada mempunyai anak mungkin sekali bagi wanita-wanita berbeda bila dibandingkan dengan aspek-aspek ekonomi yang mempengaruhi keinginan mempunyai anak dari wanita-wanita pedesaan yang miskin, yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia, walaupun beberapa aspek psikologis maupun kebudayaan mungkin sama. (halaman 47)
Perbedaan yang besar antara upah yang rendah dan biaya hidup yang tidak tetap, menyebabkan bahwa mereka sangat memperhitungkan keadaan ekonomi mereka. Pertimbangan demikian tampak sangat jelas dalam pekerjaan yang mereka lakukan, yaitu sebagai pengelola rumah tangga, dalam mencari tambahan penghasilan dengan jalan usaha sendiri, dan dengan bekerja di luar rumah tangganya. (halaman 47)
Dengan membandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain, kami dapat lebih jelas menentukan batas-batas dalam mana kegiatan ekonomi wanita berbentuk pekerjaan di luar rumah tangganya, apabila keluarga rumah tangganya , apabila keluarganya telah hidup layak dari penghasilan satu orang. (halaman 55)
Pola dari tidak mantapnya ekonomi merupakan factor penting untuk memperoleh dan mempertahankan pekerjaan tetap secara penuh, lebih-lebih dalam suatu pekerjaan pemerintah dimana ketentuan-ketentuan yang melekat pada pekerjaan itu (perumahan, kendaraan, pembagian beras setiap bulan, dan sebagainya) seringkali lebih penting dari upah atau gaji sebenarna. (halaman 69)
Ada dua tipe kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh wanita untuk mendapatkan penghasilan dari luar, yang menjadi perhatian studi ini: 1. Bekerja untuk seorang majikan di luar rumah tangga, dan 2. Bekerja untuk diri sendiri di rumah atau di luar rumah. (halaman 69)
Peranan ekonomis dan kesuburan adalah mengenai perbedaan-perbedaan antara wanita bekerja dan wanita ibu rumah tangga terhadap praktek keluarga berencana dan sikap yang berhubungan dengan kelahiran. Kami tidak menemukan suatu hubungan yang menyolok dalam studi ini antara status bekerja dan menggunakan metode keluarga berencana. (halaman 71)
Apabila anak-anak yang miskin di daerah pedesaan sejak kecil dapat memberi sumabngan kepada penghasilan keluarganya, maka tidak demikian halnya dengan anak-anak dari kelas menengah di kota-kota. Demikian juga ibu-ibu dari keluarga kelas menengah kota bisa dikatakan member sumbangan ekonomis mereka kepada taraf kehidupan dengan bekerja sebagai manajer rumah tangga dan pendidik anak-anaknya menurut cara yang sesuai dengan kedudukan keluarganya dalam kelas menengah. Baik diantara wanita pedesaan maupun diantara wanita kelas menengah kota, keseluruhan penghasilan dan taraf hidup dari seluruh keluarga menentukan jenis dari sumbangsih wanita terhadap kesejahteraan keluarga. (halaman 77)
Rumitnya hubungan timbale balik seharusnya membuat lebih jelas mengapa hanya sedikit hubungan yang penting antara partisipasi wanita secara total dalam tenaga kerja, dan kesuburan secara total. Untuk dapat memahamai hubungan-hubungan ini, perbedaan sosio-ekonomis merupakan hal yang sangat penting. (halaman 77)
Kami menemukan bahwa variable-variabel ekonomi (yaitu pengeluaran-pengeluaran untuk makan dan pendidikan) banyak menjelaskan perbedaan dalam hal kesuburan. Tentu saja, suatu sebab yang langsung bersifat ekonomis dalam hal ini sangat relevan, seperti misalnya konsumsi makanan yang leboh banyak oleh orang dewasa dibandingkan dibandingkan anak-anak. (halaman 89)
41.000 komunitas desa dapat dibagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan :
(1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di lading, dan (2) desa-desa yang bercocok-tanam di sawah.
Desa-desa golongan pertama terletak disebagian besar pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatersa Utara dan Barat, Daerah Pantai Kalimantan, daerah Sulawesi selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa tenggara dan Maluku. (halaman 99)
Teknologi bercocok tanam di lading menyebabkan suatu komunitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang didasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah. Teknologi cocok tanam di lading memerlukan tanah yang luas, di suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan. (halaman 100)
Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok-tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sisten bantu membantu yang di Indonesia kita kenal dengan istilah “gotong royong”. Sistem pengerahan tenaga seperti itu tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di tempat-tempat lain di dunia, dimana produksi bercocok-tanam secara trasional masih dominan, yaitu komunitas-komunitas pedesaan suku-suku bangsa penduduk Afrika, Asia dan Oseania, dan penduduk pribumi Amerika Latin. Sistem gotong royong sampai masa kini bahkan masih terdapat juga di beberapa tempat di eropa. (halaman 106)
Di Indonesia, dan khusunya di Jawa, aktifitas gotong royong biasanya tidak hanya menyangkut lapangan bercocok tanam saja, tetapi juga menyangkut lapangan kehidupan sosial lainnya seperti:
1. Dalam hal kematian, sakit atau kecelakaan
2. Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga
3. Dalam hal pesta-pesta
4. Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa. (halaman 106-107)
Proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga tani dari system gotong royong menjadi system menyewa buruh tani, antara lain terdorong oleh murahnya tenaga buruh tani, terutama di jawa. (halaman 110)
Penduduk desa pada umumnya terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar sector pertanian, dan mengerjakan kedua sector tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai pekerjaan primer dan sekunder. Tetapi banyak pula desa-desa, terutama di jawa, dimana sebagian besar penduduknya bekerja di luar sector pertanian meskipun demikian kepada pegawai sensus, petugas survey KB, atau kepada para peneliti ilmu sosial, mereka itu biasanya mengidentifikasikan dirinya sebagai petani. (halaman 117)
Dalam hampir semua komunitas desa, semua anggota pamong desa dan para guru desa, pasti memilik tanah sawah dan tegalan. Sebagian dari tanah itu mereka sewakan, mereka dibagi-hasilkan, atau mereka gadaikan kepada petani lain yang tidak atau hanya memilik tanah yang terbatas besarnya, tetapi sebagian lagi selau mereka kerjakan sendiri. (halaman 118)
Desa-desa di Jawa yang ada di sepanjang jalan-jalan raya dekat pabrik-pabrik pusat industry atau dekat kota-kota kecil atau besar, biasanya kurang lebih terpengaruh oleh gaya hidup kota. Banyak penduduk desa dengan lokasi seperti tersebut berhasrat memilik rumah gaya kota, dan perabot rumah tangga yang dimilik orang-orang kota. (halaman 118)
Pola-pola matapencaharian dan aktifitas pekerjaan di luar sector pertanian dapat menyebabkan terjadinya suatu mobilitas geografikal yang sangat ekstensif dalam masyarakat pedesaan di Indonesia, dan khususnya di Jawa. (halaman 119)
Usaha yang penting dari para perencana pembangunan masyarakat desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya kepentingan-kepentingan local, yang dapat mengembangkan “lapangan-lapangan sosial” dengan ruang lingkup local. Dengan demikian kecenderungan orang-orang desa untuk pindah ke kota dapat terjaga. (halaman 122)
Pertama-tama dijelaskan arti atau perumusan tentang gotong-royong oleh para ahli, koentjaraningrat misalnya mengartikan gotong-royong sebagai “kerjasama diantara anggota-anggota komuniti”. (halaman 130)
Menggolongkan gotong-royong kedalam tujuh jenis, yaitu: (1) gotong-royong yang timbul bila ada kematian atau beberapa kesengsaraan lain yang menimpa penghuni desa; (2) gotong-royong yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat desa; (3) gotong-royong yang terjadi bila seseorang penduduk desa menyelenggarakan suatu pesta; (4) system gotong-royong yang dipraktekkan untuk memelihara dan membersihkan kuburan nenek moyang; (5) gotong-royong membangun rumah; (6) system gotong-royong dalam pertanian; (7) kegiatan gotong-royong yang berdasarkan pada kewajiban kuli dalam menyumbangkan tenaga manusia untuk kepentingan masyarakat. (halaman 130)
Dua sifat dari ekonomi pedesaan yang penting, yang pertama adalah bahwa kalau kita membandingkan besarnya upah atau keuntungan dari kegiatan-kegiatan yang digambarkan dengan kebutuhan, yang kedua adlah bahwa kegiatan produktif yang paling menghasilkan (dihitung menurut hasil per jam kerja) untuk yang tidak memilik tanah atau modal adalah kerja sebagai tani bayaran (khususnya memotong padi dengan system bawon). (halaman 153-154)
Gotong-royong = kerja tanpa bayaran di tempat orang lain untuk membangun/memperbaiki rumah dan lain-lain tidak meliputi pengolahan tanah dengan system gotong-royong. (halaman 160)
Walaupun pembagian kerja antara pria dan wanita dalam masyarakat pedesaan jawa cukup jelas, tetapi hubungan antara pria dan wanita dalam proses produksi tidak ditentukan oleh perbedaan jenis kelamin saja, melainkan yang lebih penting oleh kesempatan meraih sumber-sumber strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin itu. (halaman 168)
Pendekatan-pendekatan terhadap otonomi wanita dalam masyarakat dengan perbedaan kelas juga memfokus pada masalah organisasi produksi, tetapi dengan suatu penekanan yang agak berbeda. (halaman 169)
Kurangnya perhatian akan akibat-akibat dari ketimpangan-ketimpangan sosio-ekonomis dalam masyarakat pedesaan dapat menyebabkan dua kecenderungan yang negative terhadap wanita. (halaman 176)
Cara panen di jawa menunjukan bahwa bukanlah partisipasi dalam suatu pekerjaan yang bersifat sosial secara kolektif yang member kekuasaan ekonomi kepada wanita, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa yang member kekuasaan ekonomi itu adalah kemampuan seorang wanita unutk menggerakkan tenaga yang bersifat sosial dai orang-orang lain. (halaman 180)
Ada dua factor yang menyimpulkan bahwa tanggung jawab untuk pembangunan pedesaan akan terutama terletak di atas pundak kepala desa-bahwa ia akan merupakan suatu factor yang menentukan di dalam upaya Indonesia untuk berpartisipasi dalam “revolusi hijau”. Pertama, di desa-desa kebanyakan daerah di Indonesia, kepala desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata. (halaman 197)
Kepala desa mempunyai posisi yang kuat sebagai wakil dari pemerintah di desa. Peranan lurah sebagai wakil dari pemerintah sudah bisa diteliti selama tahap akhir zaman mataram. (halaman 198)
Desa di Indonesia sesudah zaman penjajahan menunjukkan, bahwa posisi kepala desa biasanya di duduki berkat keturunan, dan bahwa anak laki-laki yang pertamalah (tidak selalu harus demikian) yang biasanya menggantikan menjadi kepala desa apabila ayahnya meninggal atau meletakkan jawaban. (halaman 200)
Mengingat bahwa pertanian, khususnya peningkatan produksi pangan adalah sasaran utama rencana pembangunan dewasa ini, dank arena kepala desa menduduki posisi yang penting dalam mempengaruhi sampai beberapa jauh taraf penerimaan technical know how yang baru di desa-desa, maka pentinglah untuk mengetahui sampai sejauh mana mereka itu sendiri memiliki kepentingan langsung dalam perubahan yang sedang disarankan pada waktu ini. (halaman 203)
Belum cukup dimaklumi bahwa kepala desa menempati kedudukan strategis, baik dlam struktur pemerintahan maupun dalam kompleks pedesaan sendiri untuk menjadi pelopor yang penting dalam rangka pembaharuan. (halaman 208)
Tetntu saja baik sekali bagi kepala desa kalau menaruh perhatian kepada intensifikasi usaha-usaha pembangunan masyarakat melalui gotong-royong dan peningkatan pembiayaan, tetapi apakah usaha-usaha itu akan diarahkan kepada tujuan-tujuan ekonomis produktif, atau akan disalurkan ke tujuan non-ekonomis lainnya seperti pembuatan monument,mesjid atau gereja, atau pembuatan gapura-gapura tradisional untuk desa. (halaman 209-210)
Apabila desa dan dukuh dalam rangka pembangunan dewasa ini berhasil dirangsang untuk mengelola sumber-sumber dan dan potensi alamiah maupun manusiawi dimilikinya, besar kemungkinannya bahwa derap pembangunan dapat dipercepat.
Caampur tangan pemerintah dalam usaha pembangunan sebenarnya sudah diterima sebagai suatu kenyataan; pengarahan dan bantuannya diharapkan dengan sangat. Tidak dalam prinsip campur tangan itu terletak tentangan-tentangan dari pihak masyarakat yang kadang-kadang muncul, tetapi dalam pendekatan yang diasosiasikan dengan usaha memperbaiki nasib rakyat banyak yang berkemampuan kurang. Setiap pendekatan memerlukan pengertian terhadap pola-pola interaksi sosial yang ada dan berlangsung secara nyata antara kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung berbagai lembaga dan organisasi sosial. (halaman 214)
Pada umumnya gambaran yang kita miliki mengenai masyarakat pedesaan, ialah bahwa keluarga batih atau somah (petani) merupakan kesatuan masyarakat desa yang terpenting. Selain daripada itu tidak ada kesatuan-kesatuan sosial yang lebih berperanan, sehingga dari tingkat atas desa masyarakat pedesaan tampak tidak berpola. (halaman 215)
Asosiasi pertama yang ditimbulkan pada orang yang seidikt terdidik di desa bila ditanyakan mengenai lembaga, ialah lembaga sosial desa (LSD) yang merupakan program pemerintah untuk menghidupkan kembali pranata sosial desa yang berakar dalam adat kebiasaan dan diduga dapat menghidupkan kembali aspek-aspek kegotong-royongan yang kita anggap antara lain mencerminkan demokrasi di daerah pedesaan kita. (halaman 217)
Yujuan pemerintah semula memang menggerakan pranata sosial di desa yang sudah ada tetapi fungsinya barangkali melemah; harapannya ialah agar pemimpin non-formal mengambil tempat dan peranan yang lebih besar . Dalam kenyataan tidak jarang terjadi bahwa pamong desa, terutama lurahlah yang mengetuai atau membina LSD, sehingga tetap pemimpin formal lebih penting. Pada pribadi lurah kedua jenis kepemimpinan, formal dan non-formal ada kalanya bertumpuan sehingga sangat tergantung pada pribadi loyalitas lurah kemana akhirnya kepala desa mengamalkan pengabdiannya. (halaman 217)
Ternyata pada umumnya pemimpin daerah pedesaan berasal dari desanya sendiri, dan lahir dalam keluarga yang agak mantap, tanpa adanya perceraian yang sering terjadi antara ayah-ibu. Pendidikan sewaktu mudanya berlangsung di rumah orangtua dan kemudian di sekolah, walaupun pendidikan sekolahnya rata-rata lebih pendek dari 6 tahun. Kebanyakan pemimpin masih hidup dari pertanian, walaupun bukan sebagai petani oenggarap lagi. (halaman 234)
Suatu kebijaksanaan pembangunan yang hanya didasarkan pada pra-anggapan akan lebih sulit merangsang partisipasi dari segolongan pemimpin yang justru menjadi tokoh dan orang berpengaruh dalam lingkungan masyarakat yang lebih kecil tetapi masih hidup karena dukungan pengikut. (halaman 238)
Kerjasama antar desa juga merupakan suatu aspek yang sudah lama melemah; koordinasi yang dilakukan oleh tingkat kecamatan sebenarnya cenderung bersifat hubungan atas-bawah, masing-masing dengan orientasi yang berbeda: kota-desa. Selanjutnya suatu kebijaksanaan dalam usaha pembangunan yang condong mengutamakan gugus birokrasi untuk menyalurkan intruksi-intruksi dan kurang mementingkan terbentuknya dan berfungsinya satuan-satuan organisasi spontan dan sukarela di tingkat dukuh sukar dapat menggugah partisipasi luas. (halaman 238)
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk membangkitkan partisipasi kembali adalah merangsang organisasi pada tingkat dukuh dan dengan melepaskannya dari kaitan erat dengan gugus kepamongan. Disarankan bahwa organisasi petani seperti HKTI dapat dibuat wadah yang demikian sifatnya, sehingga disamping pamong ada gugus organisasi yang dapat mengimbanginya. Disamping itu apabila otonomi tingkat III ingin dicapai maka perlu diusahakan agar tingkat tiga tersebut mencakup sejumlah desa-desa yang dijalin kepentingannya dengan mengaktifkan kembali dukuh, dan bukan pamong desa. Sebaliknya apabila kecamatan dipertahankan, tingkat itulah yang menjadi tingkat terakhir dalam jenjang birokrasi. (halaman 238-239)
Beberapa lembaga yang dahulu mendukung berfungsinya demokrasi, antara lain badan musyawarah desa, pilihan lurah dan sebagainya perlu dihidupkan kembali sebagai wahana untuk melakukan sosialisasi penduduk desa atau dukuh. Untuk mempercepat proses demokrasi tadi beberapa prerogative yang dinikmati pamong desa, antara lain bengkok dan pungutan-pungutan tertentu yang berlandaskan pada pola masyarakat feudal, secara bertahap perlu diganti dan dihapus. (halaman 239)
Cara yang lebih mutakhir untuk memberikan imbalan jasa-jasa pamong perlu digagas misalnya dengan memberikan gaji. Sehubungan dengan ini peranan penduduk dengan kemampuannya untuk melakuakan pengawasan atas pamong perlu ditingkatkan. Membatasi masa jabatan pamong sudah merupakan usaha yang mengarah kesana. Memperluas kesempatan terutama bagi penduduk desa yang sudah tidak menguasai tanah cukup untuk dapat memperoleh asset pertanian lain adalah satu cara lain untuk meningkatkan kegairahan mebangun daerah pertanian. Beberapa kebutuhan dasar, juga dibidang ekonomi memang harus dipenuhi. (halaman 239)
Istilah perekonomian subsistensi umunya digunakan khusus dari perekonomian desa agraris yang produktivitasnya rendah. Produksi subsistensi adalah bagian dari produksi pertanian yang dikonsumsi oleh para anggota rumah tangga itu sendiri. Produsen sekaligus merupakan kosumen dan interaksi pasar tidak terjadi. Jenis perekonomian ini diperhadapkan dengan suatu perekonomian kaum tani yang dikomersialkan atau dengan suatu perekonomian industry urban. Pandangan ini terlalu sederhana. Perekonomian kaum tani jauh lebih kompleks dan perekonomian urban sama sekali tidaklah sepi dari produksi subsistensi. (halaman 322)
“Kerjasama” bisa dijelaskan dalam dua arti secara negative dan positif. Secara negative istilah “kerjasama” tidak berarti: indiferenrisme atau sikap acuh tak acuh, dimana agama-agama lain tidak diperdulikan, meskipun tidak di musuhi. Juga tidak berarti toleransi semata-mata, yang hanya berarti bahwa yang lain dibiarkan, misalnya karena di khawatirkan kekuatannya (Perang dingin). Istilah yang kedengarannya menarik tetapi mengelirukan adalah saling pengertian. Istilah ini sering didewa-dewakan seolah-olah mengungkapkan relasi yang paling baik dan paling mesra. (halaman 374)
Khusus bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai budaya sebagai syarat pembangunan yang sudah dimiliki adalah nilai budaya gotong-royong dalam arti yang umum, dan beberapa nilai budaya tertentu yang sebenarnya merupakan konsep pemerincian dari nilai gotong-royong dalam arti umum tadi. Nilai-nilai budaya itu adalah misalnya: konsep yang menganggap penting sikap tenggang rasa dan kepekaan untuk tidak berbuat semena-mena terhadap sesame manusia. Nilai budaya itu menurut hemat saya penting untuk menanggulangi tekanan-tekanan masalah kehidupan masa kini, karena memungkinkan orang Indonesia untuk bekerja sama dengan sesamanya secara mudah, untuk bersikap toleran terhadap sesamanya yang berkeyakinan dan berpendirian lain, dan untuk bekerja sama dengan bangsa lain. (halaman 423-424)
Perlu diperhatikan bahwa nilai gotong-royong tidak dalam semua aspeknya dapat menanggulangi tekanan masalah kehidupan masakini, dan dapat menunjang pembangunan. Nilai-nilai gotong-royong itu juga mempunyai aspek-aspek yang menghambat pembangunan, karena dapat melemahkan kegigihan untuk bekerja, serta gairah dengan tujuan mencapai hasil karya yang optimal. Hal itu disebabkan karena manusia yang hidup dalam masyarakat dimana nilai gotong-royong itu meluas, seringkali dihinggapi pikiran ketergantungan kepada lingkungan sosialnya. Nilai gotong-royong sering menghambat juga karena menimbulkan gagasan bahwa kemajuan warga komunitas juga harus sama dan merata. Dengan demikian individu acapkali tidak diperkenankan maju mendahului yang lain dan menonjol di atas yang lain. Padahal, terutama dalam sains, teknologi dan ilmu pengetahuan, hasil karya individu-individu putera bangsa yang menonjol itulah yang biasanya justru merupakan penunjang terpenting dari pertumbuhan ekonomi. (halaman 424)
Disamping dapat pula di observasi bahwa gotong-royong dalam pelaksanaannya yang paling konkret, yaitu dalam produksi pertanian, dengan sendirinya tergeser oleh system pengerahan tenaga buruh bayaran, terutama di daerah-daerah dimana tenaga buruh berlebih, dank arena itu sangat murah. Dengan demikian nilai gotong-royong yang menjiwai kehidupan ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia perlu di sesuaikan dengan keperluan masakini, yaitu menghilangkan kedua aspek negatifnya. (halaman 424)
Nilai budaya Indonesia yang menurut hemat saya juga menghambat pembangunan adalah konsep bahwa manusia berorientasi vertical; artinya, ia harus berpedoman kepada orang-orang yang senior dan orang-orang yang berpangkat tinggi. Nilai ini perlu digeser karena menghambat berkembangnya tema berpikir yang mementingkan tanggung jawab sendiri. (halaman 426)
Dalam menghadapi peradaban dunia dengan kebudayaan industry dan jiwa komersialnya, orang Indonesia sebaiknya mengembangkan suatu kebudayaan nasional yang dalam system budayanya mementingkan aspek-aspek positif dari gotong-royong, seperti sikap suka bekerjasama dengan orang lain, baik orang dari lingkungan keluarga atau tetangga dekat, tetapi toh yang mempunyai kepentingan yang sama; sikap tenggang rasa terhadap orang lain; sikap toleransi terhadap orang lain; walaupun ia berasal dari golongan lain atau menganut agama lain. (halaman 427)
Rintangan-rintangan cultural di pedesaan sampai sekarang masih cukup besar. Baik berupa rintangan moril-spiritual, maupun berupa fisik-material. Kedua-duanya masih cukup dominan. Rintangan moril spiritual terutama disebabkan tingkat pendidikan yang rata-rata masih rendah. Bahkan masih ada yang buta huruf, dan kebanyakan rakyat desa hanya terbatas tamatan kursus PBH. Karenanya minat baca sangat kurang. Keinginan membaca Koran masih terbatas dalam jumlah yang kecil. Membaca belum tumbuh sebagai suatu kebutuhan dan karenanya juga belum berkembang sebagai suatu kebiasaan. (halaman 439)
Lebih dari itu factor kemiskinan merupakan hambatan yang terbesar, Cara kerja yang statis tradisional, lapangan kerja yang masih langka, menyebabkan pertumbuhan ekonominya sangat lambat, sehingga peningkatan pendapatannya sangat rendah. Hasil pendapatannya bahkan tidddak cukup untuk memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari, yang sebagian besar tergantung kepada hasil pertanian di sawah dan lading. Karrrena itu pula hampir seluruh pendapatannya untuk biaya hidup keperluan keluarga. (halaman 439)
Dalam usaha meratakan arus informasi timbale balik dari desa ke kota dan kota ke desa, diperlukan pendekatan dan kemauan kerjasama dari kedua belah pihak. Dari pihak pers maupun pejabat. Minimal satu sama lain tidak saling merintangi fungsi dan tanggung jawabnya, maksimal perlu saling pengertian dan kerjasama yang sehat dan konstruktif. Konstruksi inilah yang perlu diciptakan bersama, karena baik pers maupun pemerintah sama-sama menghendaki masyarakat yang maju, yang cerdas, yang sejahtera lahir-batin, Interaksi positif ini yang sudah berhasil dikembangan di Bali, walaupun masih terasa belum merata di kalangan pejabat pemerintah. (halaman 442)
Teori kewiraswastaan mengenai perkembangan ekonomi adalah paling menonjol diantara semua teori lain yang dikembangkan hingga dewasa ini, tidak saja dalam menerangkan proses-proses historis dari perkembangan ekonomi, tetapi juga karena kemampuannya mempengaruhi secara politis proses pembangunan atas cara yang menghasilkan lebih banyak perkembangan ekonomi dan mengakibatkan terbentuknya standar hidup yang lebih tinggi bagi masa pekerja dari suatu bangsa tertentu. (halaman 466)
Suatu bangsa akan berkembang secara ekonomis, apabila bangsa tersebut mempunyai wiraswasta-wiraswasta yang mempunyai kebebasan dan motif-motif yang mendorongnya untuk mengambil keputusan-keputusan yang bersifat kewiraswastaan, yang sebetulnya berarti mengadakan inovasi, yaitu mewujudkan gagasan-gagasan baru menjadi praktek. Suatu bangsa akan berkembang lebih cepat, apabila ia memperbesar kelompok wiraswasta (sebagai tenaga kreatif pelaksana perubahan), memperluas lingkup kemerdekaan ekonomi yang memungkinkan tingkah laku wiraswasta, dan berhasil menciptakan suatu lingkungan sosio-ekonomis, yang mendorong para wiraswasta ini secara “optimal”. (halaman 466)
Baiklah kita membicarakan tiap-tiap pokok ini secara singkat, mulai dari proses pembangunan yang bersifat dasar, menyusul penciptaan serta penyebarab berbagai inovasi. Schumpeter telah menunjukkan secara meyakinkan, mengapa proses inovasi itu demikian mendasar sifatnya, sedemikan rupa sehingga ia bakan boleh disamakan dengan pembangunan ekonomi. (halaman 466)